Sabtu, 02 April 2011

Rumah Kaca Jendela Kayu

Bukan ujian yang kini kurasa.Tapi pilu mencoba mendera batin.Kala aku bertemu denganmu.Namun taukah engkau,hasrat para pengemban mimpi nampak hadir kala kutelisik raut emosional wajahmu.Fazril Hirhamsyah,seorang pemikul kayu dari sebrang kota dimana kami berlainan tinggal.Dan taukah kau,dia seperti apa??? Dia tunawicara,badannya kekar dibentuk secara alami hasil pikulan puluhan kilo kayu yang ia hangkut dari tempat satu ketempat lain,dari truk satu ke truk lain.Wajahnya tampan beriaskan lesung pipi di sebelah kiri.Hidungnya bak pisau yang siap memotong sebuah apel.Alisnya lentik.Raut wajah yang tak mungkin membuat setiap orang percaya bahwa ia seorang tunawicara,tak terkecuali aku.
Tok..Tok"pintu ruang utama rumah kecilku hasil dari keringat usaha kecilku,membuat mainan kata dan angka yang terbuat dari kayu-kayu.Kulihat dari balik jendela kacaku,seorang lelaki hitam nan kekar diluar sana.Kubuka dan..."ada yang bisa saya bantu,mas??" Dia diam,seperti mencari-cari sesuatu dikantung celana pendeknya."hallo,mas" kucoba memanggilnya kembali namun dengan nada yang lebih keras.Dia tidak merespon,namun,ia tetap seperti mencari-cari sesuatu yang sangat penting baginya.Kutangkap raut wajahnya yang kini lain dari raut wajahnya yang pertama.Raut wajah yang merona,dengan senyum rias lesung dipipi kirinya.Raut wajah seperti memperoleh sesuatu.Benar ia memperoleh sebuah kertas lipatan kecil bercoretan dikantung celananya.Lalu memberikan kepadaku,yang bertuliskan...
"kepada Mbak Sinta, ini pesanan kayunya mbak.Maaf tidak bisa mengantar sendiri,saya sedang sakit,ini anak buah saya,dia Tunawicara,jadi harap maklum jika dia membuat kesalahan terhadap mbak. Dari pak Sugianton"
Setelah kubaca,aku melihat wajahnya lagi,betapa mirisnya aku,mencoba meminta maaf pada diri sendiri,atas kesalahaku tadi yang memanggilnya terlalu keras.Dia menurunkan,kayu-kayu pesananku dari sebuah mobil pick-up dan mengangkat beberapa kayu-kayu besar dan kecil kehalaman rumahku.Aku masih melihat dia,dan menuliskan kata dibelakang kertas yang tadi ditulis pak Sugi.Harapanku ia bisa membaca dan mengerti dengan tulisanku..."kamu,istirahat dulu sebentar dirumah saya yah,kelihatannya kamu kecapek-an".Kuberikan kepadanya,dia meraih pulpenku dan menuliskan kata... "makasih mbak,anda bisa bahasa tangan".Dia berikan lagi kertas itu padaku sambil memamerkan senyumnya yang mempesona.Aku hanya membalas dengan gelengan kepala,dia mengerti,dengan mengisyaratkan tangannya yang melambai ke-kanan dan kiri,dan menurutku itu artinya "tidak apa-apa".Aku lalu menulis lagi, "tunggu sebentar,saya ambi minum untuk kamu".Dia hanya tersenyum.
Aku kedalam membuatkan dia minum,namun ketika aku balik,dia sedang pulas bersimbah keringat disekujur diwajahnya.Nampaknya ia sangat kelelahan,entah beberapa banyak kayu yang sudah ia pikul dari satu rumah kerumah lain.Aku membiarkan ia tidur diteras rumahku yang rindang berisi berbagai pepohonan peninggalan dari alm.ibuku.Aku kembali masuk rumah,menelpon Pak Sugi,memberitahukan bahwa anak buahnya telah lelap dirayu sang angin yang menidurkannya tanpa sengaja.
"selamat siang,bisa bicara dgn pak Sugi".tidak lama suara dari sebrang sana berbisik diganggang telponku."iya saya sendiri,ini mbak Sinta ya, ada apa mbak,kayunya udah diantar sama Fajri kan?"."iya pak,sudah,lebih cepat dari biasanya lho pak, oya saya cuma mau kasih tau bapak saja,klo anak buahnya bapak itu tertidur di teras rumah saya pak,siapa tau bapak mencari-cari dia nanti jadi saya hubungi bapak saja,biar bapak tidak cemas"."oya,mbak makasih,klo bisa jangan dibanguni dulu mbak,dari tadi pagi dingankut kayu dan pantas saja dia ketiduran tempatnya mbak.tapi mbak gak papa kan dia disitu?", "oh,bukan masalah kok pak,oya uangnya ntar besok saya antarkan yah pak,sekalian mampir kesana,udah lama ngak lihat Anna sama Lanna anak kembarnya bapak,ibu apa kabar pak?" "oh,iya mbak kesini aja Anna,Lana pasti senang,kabar ibu baik saja kok." "salam ma ibu ya pak,yasudah yah pak,besok saya kesana,selamat siang pak".
BERSAMBUNG -.-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar